Hari Selasa, 18 Desember 2018, kuberanikan diri untuk
memeluk seorang teman yang kurasa sedang membutuhkan pelukan. Terlihat sok
tahu, tapi aku benar-benar tidak dapat berdiam diri lagi melihat keadaan ini.
Mari kita sebut dia A. Jadi, di jurusanku, lebih tepatnya angkatanku, ada
sedikit konflik yang berhubungan dengan si A. Intinya kami mempermasalahkan
tentang sikap dia. Ya, tidak menutup fakta bahwa aku pun seringkali sebal
karena sikapnya, tetapi di luar sikapnya yg tidak aku sukai aku tetap berteman
baik dengan A. Karena aku pikir, untuk apa terus-menerus mempermasalahkan sikap
orang lain yang padahal aku juga punya banyak sikap yang tidak disukai oleh
teman-temanku sendiri.
Namun, setelah berminggu-minggu kuperhatikan, ada
beberapa teman yang masih saja menunjukkan rasa tidak sukanya pada A. Padahal
masalahnya sudah lewat. Daaan.. puncaknya adalah sehari sebelumnya. Temanku
menyindir A dengan cara yang menurutku kurang tepat. Aku yang ada di sampingnya
saat itu benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa bersalah karena
ucapan temanku itu. Padahal kami akan melaksanakan ujian, aku khawatir sekali
itu akan berdampak pada ujiannya hari itu. Pokoknya, aku tidak berani melihat
ke arahnya sepanjang ujian pagi itu. Setelah ujian, A langsung keluar kelas dan
meninggalkan bukunya. Saat aku telepon untuk memastikan di mana keberadaan dia,
aku dikejutkan oleh suara dia yang terdengar sedih. Aku mulai khawatir pada
saat itu. ketika ujian yang kedua, dia datang, tetapi (lagi lagi aku sok tahu) dari punggungnya aku
seperti bisa melihat kesedihannya. Sepanjang perjalanan pulang, aku berpikir,
bagaimana kalau aku yang ada di posisi A? Aku saja saat dijauhi oleh
teman-teman dekatku rasanya seperti duniaku sudah hancur, apalagi jika
dibicarakan dan dijauhi oleh teman-teman seangkatan? Aku memikirkan bagaimana
cara menyemangatinya. Lalu aku teringat apa yang aku inginkan ketika sedang down, yaitu pelukan. Jujur, aku takut
untuk menunjukkan kepedulianku lewat pelukan. Aku takut dia malah berpikir,
“apaan sih peluk-peluk”. Aku ragu untuk melakukannya. Akhirnya aku berusaha
mencari cara lain untuk menyemangatinya.
Pada malam harinya, ternyata dia tidak datang karena
sakit. Aku semakin khawatir. Akhirnya aku mencoba berbicara pada teman-temanku
yang lain. Tanpa kusangka, jawaban mereka yang aku tanya hampir sama. Mereka
merasa tidak enak pada A dan merasa sindiran itu sudah benar-benar keterlaluan,
tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mencoba melangkah duluan untuk
menyemangati A.
Akhirnya pada hari Selasa, kami bertemu. Namun, aku
tidak terpikirkan untuk menyemangatinya pagi itu karena kami sibuk dari pagi.
Ketika acara selesai, kami mengadakan evaluasi. Saat evaluasi, dia mencoba
untuk meminta maaf. Aku di situ sudah berkaca-kaca karena mengingat kejadian di
kelas hari kemarin. Tanggapan teman-teman yang ada di tempat itu cukup beragam.
Namun, yang benar-benar terasa olehku itu lebih banyak orang-orang yang tidak
peduli dengan kata maaf yang terucap dari mulutnya. Aku reflek melihat ke
arahnya. Ketika aku melihat ekspresinya, aku langsung membuang muka lagi dan
menangis. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat
itu.
Setelah evaluasi selesai, keputusanku sudah bulat. Aku
harus maju duluan untuk memberikan dukungan kepada A. Aku tidak mau dia
berlarut-larut tenggelam dalam lautan kesedihannya dan menghancurkan kehidupan
sehari-harinya. Aku berusaha membuang rasa malu-ku dan meminta izin untuk
memeluknya. Saat aku memeluknya, aku sampaikan kalau aku merasa bersalah
padanya. Dia agak kebingungan, dan aku berusaha menjelaskannya. Namun, aku
tidak kuat, aku benar-benar ingin menangis. Akhirnya aku berbicara mengenai
alasan mengapa aku merasa bersalah di punggungnya agar dia tidak melihat
ekspresiku. Lalu dia menjawab dengan kalimat yang membuatku semakin sedih. Saat
dia berbalik ke arahku, ternyata matanya sudah bengkak karena dipenuhi air
mata. Aku tidak tega melihat ekspresinya, akhirnya aku peluk lagi dia dengan
erat. Namun, setiap aku melepaskan pelukanku darinya, aku selalu berakhir
memeluknya kembali. Setelah aku melepas pelukan itu, entah aku yang sok tahu
atau bagaimana, tetapi aku bisa merasakan dan bisa melihat dari ekspresinya
bahwa dia benar-benar membutuhkan dukungan dari teman. Dia masih membutuhkan
dukungan itu, karena itu lah aku tidak bisa melepaskannya. Aku berusaha untuk
membuatnya nyaman dengan dukunganku. Matanya tak bisa berbohong. Dia masih
membutuhkan pelukan itu.
Oh, iya, berkat kejadian ini, aku dapat melihat
ketulusan teman dekatku, kita sebut saja dia B. Selama ini dia seringkali
memendam apa yang dia rasakan tentang orang lain, kalau pun dia membicarakan
tentang apa yang dia rasakan, ya sudah itu hanya berakhir menjadi bahan
perbincangan kami saja. Namun, hari itu dia menunjukkan ketulusannya yang
jarang sekali bisa kulihat. Dari cara dia merangkul dan bersandar pada bahu A,
aku benar-benar merasakan ketulusan dari B. Ah, menggemaskan sekali temanku
ini. Ha ha ha.
Hei, A! Aku tidak tahu kamu membaca tulisanku ini atau
tidak. Maaf jika tulisanku ada yang membuatmu sakit hati dan terlihat sangat
sok tahu dengan menebak-nebak apa yang kamu rasakan pada saat itu. Namun, aku
berharap semoga pelukan dan dukungan itu bisa membuatmu kembali merasa
disayangi. Tidak semua orang membencimu, kok.
Mereka hanyalah segelintir dari sekian banyak orang yang menyayangimu. Jangan
lagi katakan bahwa kamu tidak memiliki teman, kamu memiliki teman.
Aku temanmu.
Percayalah, tanganku akan selalu terbuka bila kamu
membutuhkan pelukan dan dukungan.
Dan untuk teman-temanku yang lain, tanganku juga terbuka
untuk kalian yang membutuhkan pelukan dan dukungan. Cukup katakan bahwa kalian
butuh pelukan, dan aku akan datang.
Untuk teman-teman lamaku, maaf jika di masa lalu aku
pernah menolak untuk memeluk kalian di saat kalian membutuhkan pelukan. Pada
saat itu, aku tidak tahu kalau pelukan itu benar-benar dapat membangkitkan lagi
semangat seseorang. Sekali lagi, aku minta maaf.
With
love,
Fani.