Thursday, December 20, 2018

Peluk


Hari Selasa, 18 Desember 2018, kuberanikan diri untuk memeluk seorang teman yang kurasa sedang membutuhkan pelukan. Terlihat sok tahu, tapi aku benar-benar tidak dapat berdiam diri lagi melihat keadaan ini. Mari kita sebut dia A. Jadi, di jurusanku, lebih tepatnya angkatanku, ada sedikit konflik yang berhubungan dengan si A. Intinya kami mempermasalahkan tentang sikap dia. Ya, tidak menutup fakta bahwa aku pun seringkali sebal karena sikapnya, tetapi di luar sikapnya yg tidak aku sukai aku tetap berteman baik dengan A. Karena aku pikir, untuk apa terus-menerus mempermasalahkan sikap orang lain yang padahal aku juga punya banyak sikap yang tidak disukai oleh teman-temanku sendiri.
Namun, setelah berminggu-minggu kuperhatikan, ada beberapa teman yang masih saja menunjukkan rasa tidak sukanya pada A. Padahal masalahnya sudah lewat. Daaan.. puncaknya adalah sehari sebelumnya. Temanku menyindir A dengan cara yang menurutku kurang tepat. Aku yang ada di sampingnya saat itu benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa bersalah karena ucapan temanku itu. Padahal kami akan melaksanakan ujian, aku khawatir sekali itu akan berdampak pada ujiannya hari itu. Pokoknya, aku tidak berani melihat ke arahnya sepanjang ujian pagi itu. Setelah ujian, A langsung keluar kelas dan meninggalkan bukunya. Saat aku telepon untuk memastikan di mana keberadaan dia, aku dikejutkan oleh suara dia yang terdengar sedih. Aku mulai khawatir pada saat itu. ketika ujian yang kedua, dia datang, tetapi  (lagi lagi aku sok tahu) dari punggungnya aku seperti bisa melihat kesedihannya. Sepanjang perjalanan pulang, aku berpikir, bagaimana kalau aku yang ada di posisi A? Aku saja saat dijauhi oleh teman-teman dekatku rasanya seperti duniaku sudah hancur, apalagi jika dibicarakan dan dijauhi oleh teman-teman seangkatan? Aku memikirkan bagaimana cara menyemangatinya. Lalu aku teringat apa yang aku inginkan ketika sedang down, yaitu pelukan. Jujur, aku takut untuk menunjukkan kepedulianku lewat pelukan. Aku takut dia malah berpikir, “apaan sih peluk-peluk”. Aku ragu untuk melakukannya. Akhirnya aku berusaha mencari cara lain untuk menyemangatinya.
Pada malam harinya, ternyata dia tidak datang karena sakit. Aku semakin khawatir. Akhirnya aku mencoba berbicara pada teman-temanku yang lain. Tanpa kusangka, jawaban mereka yang aku tanya hampir sama. Mereka merasa tidak enak pada A dan merasa sindiran itu sudah benar-benar keterlaluan, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mencoba melangkah duluan untuk menyemangati A.
Akhirnya pada hari Selasa, kami bertemu. Namun, aku tidak terpikirkan untuk menyemangatinya pagi itu karena kami sibuk dari pagi. Ketika acara selesai, kami mengadakan evaluasi. Saat evaluasi, dia mencoba untuk meminta maaf. Aku di situ sudah berkaca-kaca karena mengingat kejadian di kelas hari kemarin. Tanggapan teman-teman yang ada di tempat itu cukup beragam. Namun, yang benar-benar terasa olehku itu lebih banyak orang-orang yang tidak peduli dengan kata maaf yang terucap dari mulutnya. Aku reflek melihat ke arahnya. Ketika aku melihat ekspresinya, aku langsung membuang muka lagi dan menangis. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat itu.
Setelah evaluasi selesai, keputusanku sudah bulat. Aku harus maju duluan untuk memberikan dukungan kepada A. Aku tidak mau dia berlarut-larut tenggelam dalam lautan kesedihannya dan menghancurkan kehidupan sehari-harinya. Aku berusaha membuang rasa malu-ku dan meminta izin untuk memeluknya. Saat aku memeluknya, aku sampaikan kalau aku merasa bersalah padanya. Dia agak kebingungan, dan aku berusaha menjelaskannya. Namun, aku tidak kuat, aku benar-benar ingin menangis. Akhirnya aku berbicara mengenai alasan mengapa aku merasa bersalah di punggungnya agar dia tidak melihat ekspresiku. Lalu dia menjawab dengan kalimat yang membuatku semakin sedih. Saat dia berbalik ke arahku, ternyata matanya sudah bengkak karena dipenuhi air mata. Aku tidak tega melihat ekspresinya, akhirnya aku peluk lagi dia dengan erat. Namun, setiap aku melepaskan pelukanku darinya, aku selalu berakhir memeluknya kembali. Setelah aku melepas pelukan itu, entah aku yang sok tahu atau bagaimana, tetapi aku bisa merasakan dan bisa melihat dari ekspresinya bahwa dia benar-benar membutuhkan dukungan dari teman. Dia masih membutuhkan dukungan itu, karena itu lah aku tidak bisa melepaskannya. Aku berusaha untuk membuatnya nyaman dengan dukunganku. Matanya tak bisa berbohong. Dia masih membutuhkan pelukan itu.
Oh, iya, berkat kejadian ini, aku dapat melihat ketulusan teman dekatku, kita sebut saja dia B. Selama ini dia seringkali memendam apa yang dia rasakan tentang orang lain, kalau pun dia membicarakan tentang apa yang dia rasakan, ya sudah itu hanya berakhir menjadi bahan perbincangan kami saja. Namun, hari itu dia menunjukkan ketulusannya yang jarang sekali bisa kulihat. Dari cara dia merangkul dan bersandar pada bahu A, aku benar-benar merasakan ketulusan dari B. Ah, menggemaskan sekali temanku ini. Ha ha ha.

Hei, A! Aku tidak tahu kamu membaca tulisanku ini atau tidak. Maaf jika tulisanku ada yang membuatmu sakit hati dan terlihat sangat sok tahu dengan menebak-nebak apa yang kamu rasakan pada saat itu. Namun, aku berharap semoga pelukan dan dukungan itu bisa membuatmu kembali merasa disayangi. Tidak semua orang membencimu, kok. Mereka hanyalah segelintir dari sekian banyak orang yang menyayangimu. Jangan lagi katakan bahwa kamu tidak memiliki teman, kamu memiliki teman.
Aku temanmu.
Percayalah, tanganku akan selalu terbuka bila kamu membutuhkan pelukan dan dukungan.

Dan untuk teman-temanku yang lain, tanganku juga terbuka untuk kalian yang membutuhkan pelukan dan dukungan. Cukup katakan bahwa kalian butuh pelukan, dan aku akan datang.
Untuk teman-teman lamaku, maaf jika di masa lalu aku pernah menolak untuk memeluk kalian di saat kalian membutuhkan pelukan. Pada saat itu, aku tidak tahu kalau pelukan itu benar-benar dapat membangkitkan lagi semangat seseorang. Sekali lagi, aku minta maaf.

With love,
Fani.

No comments:

Post a Comment

Membaca dan Menulis

Hari ini rasanya tiba-tiba ingin menulis. Mari kita bahas tentang hobi membaca dan menulisku. Sejak kecil, aku selalu dibiasakan untuk memba...