Sunday, October 4, 2020

Pendewasaan

Tiga hari yang lalu, aku bertemu dan mengobrol dengan temanku. Dari percakapan kami di hari itu, ada dua kalimat yang terpatri di kepalaku. Kurang lebih seperti ini: “orang punya hak untuk gak cerita” dan “niatnya ngebangun relasi yang baik, bukan ‘aing mau pacaran sama maneh’”

 

“orang punya hak untuk gak cerita”

Ya, memang benar. Maka dari itu, entah sejak kapan, aku mulai belajar untuk tidak menanyakan hal-hal personal sebelum orangnya cerita terlebih dahulu. Meskipun itu teman dekatku sekali pun. Bukan tidak peduli, tetapi berusaha mengurangi kekepoan akan hidup orang lain. Aku tidak harus mengetahui segala hal yang ada di hidup temanku. Begitu pun sebaliknya. Kalau pun aku menanyakan tentang hidup mereka, ya, yang aku tanya hanya hidup mereka secara general. Seperti bagaimana kabar mereka akhir-akhir ini? Adakah hal-hal yang mengganggu? Hanya hal-hal seperti itu. Jika mereka jawab semuanya baik-baik saja padahal aku tahu ada sesuatu yang tidak baik-baik saja, ya, aku hargai hak mereka untuk tidak bercerita. Namun, akan aku tekankan apabila mereka butuh tempat bercerita, aku akan ada untuk mendengarkannya. Aku tidak akan memaksa mereka bercerita, aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku ada untuk mereka.

 

“niatnya ngebangun relasi yang baik, bukan ‘aing mau pacaran sama maneh’”

Aku sangat setuju dengan kalimat di atas. Aku pun merasakan perbedaannya. Di saat aku “mengejar” seseorang dengan tujuan ‘aku harus berpacaran dengan dia’, kemungkinan kecewanya sangat besar. Entah karena aku akhirnya tidak mendapatkan orang tersebut atau di saat aku sudah bersatu dengan orang yang aku inginkan, ternyata banyak hal tentang orang tersebut yang tidak dapat aku terima. Dan apabila tujuannya seperti itu, ada kemungkinan apa yang kita rasakan akan berubah menjadi sebuah obsesi, tanpa kita sadari. Namun, di saat aku berniat untuk membangun hubungan baik dengan seseorang yang memang menarik untukku, semuanya terasa lebih nyaman. Nyaman karena tidak ada keharusan bahwa aku dan orang tersebut harus bersatu. Jika memang saling merasa nyaman untuk melangkah ke hubungan yang lebih dari pertemanan, kami bisa menjalaninya dengan santai. Apabila tidak ada hal-hal spesial yang terasa di antara kami, ya, sudah, toh dari awal kami memang hanya ingin berteman baik. Tidak ada kekecewaan yang menyakitkan.


Sejujurnya aku tidak tahu apa yang ingin aku sampaikan pada tulisan ini. Hanya saja, obrolan itu sangat berbekas di kepalaku.

Rasanya semakin bertambah umurku, semakin banyak obrolan-obrolan yang aku resapi dan jadikan pembelajaran. Obrolan seperti ini seringkali membuatku berpikir kembali, apakah pandangan hidupku sudah tepat untukku dan orang-orang di sekitarku? Jadi, bukan hanya sekadar mengobrol untuk menghabiskan waktu. Dan hal ini benar-benar membuatku belajar pelan-pelan merangkak menapaki tangga pendewasaan diri satu persatu.

Sunday, August 23, 2020

Tembok Tinggi

 

Entah ada angin apa, tiba-tiba aku ingin sekali menuliskan tentang seseorang yang pernah singgah di hidupku-walaupun sangat sebentar. Namun, dia membuat diriku berubah. Berubah menjadi ‘si pengecut’. Dulu, aku adalah orang yang sangat percaya diri, terutama dalam hal percintaan ha ha ha. Untuk urusan berkenalan dengan orang baru, sih, aku termasuk orang yang pemalu. Namun, kalau aku sudah kenal dengan seseorang dan aku menyukainya, aku akan dengan agresif menunjukkan rasa sukaku pada orang tersebut. Namun, semuanya berubah saat negara api menyerang (?) ha ha ha, maksudku, semuanya berubah saat aku mengenal dirinya. Aku ingat sekali hari itu hari Rabu, jam istirahat pertama setelah kelas matematika. Aku masih kelas 10 pada saat itu. Aku sedang sendirian di kelas karena teman-temanku semuanya sedang ke kantin, hanya aku saja yang tetap berada di kelas. Tiba-tiba ada dua orang lelaki datang ke kelasku-sebut saja mereka si G dan si A, mereka kakak kelasku. Jelas sekali aku tahu maksud mereka datang ke kelasku untuk apa: untuk mencari temanku yang digebet oleh G. Setelah berbasa-basi menanyakan temanku, tiba-tiba si A mendekatiku dan menyodorkan handphone-nya padaku.

“Boleh minta ID Line kamu?” kata kakak kelasku itu. Dia memiliki perawakan yang lebih tinggi, lebih berisi dari gebetan temanku, dan memakai kacamata.

Aku tanya, “buat apa?”

“Biar lebih deket aja,” jawab A. Aku dengan spontan langsung mendengus saat mendengar jawabannya. Namun, bodohnya, aku malah memberikan ID Line-ku padanya. Setelah itu mereka keluar dari kelasku. Beberapa saat kemudian, teman-temanku mulai kembali satu-persatu ke kelas. Dan tiba-tiba ada segerombolan temanku bilang, “Fan, ada salam dari Kak A. Tadi dia nanyain rumah kamu di mana”. Aku berusaha untuk menganggap itu sebagai angin lalu saja.

Beberapa hari setelah itu, muncul chat dari A. Aku lupa dia basa-basi apa saja, tapi akhirnya dia menawarkan untuk berangkat ke sekolah bersama. Aku sempat menolaknya beberapa kali, tapi dia tetap memaksa dan akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Di dalam mobilnya, aku benar-benar tidak tahu harus bicara apa. Jadi, aku hanya melihat ke arah luar jendela dan sesekali menjawab pertanyaannya. Kami tidak masuk ke sekolah bersama karena dia harus memarkirkan mobilnya terlebih dahulu. Aku berusaha untuk tidak ge-er hanya karena dijemput oleh A. Namun, saat jam istirahat, dia datang dengan teman-temannya ke selasar kelas IPS. Bahkan mereka mencariku juga. Entah kenapa di situ aku merasa yakin bahwa dia memang berniat mendekatiku.

Namun, setelah hari itu, A menghilang. Tidak pernah ada chat darinya lagi. Sampai suatu hari aku bertemu dengan dia di kantin, tapi dia hanya diam saja. Akhirnya begitu sampai di kelas, aku berinisiatif untuk mengirimkan chat duluan pada A, tapi tidak ada jawaban. Padahal aku melihatnya sedang menggunakan handphone saat melewati kelasku. Aku cukup kecewa karena tidak ada balasan darinya. Jadi, ya, sudah, aku anggap tidak terjadi apa-apa di antara kami.

Aku pikir semuanya akan berhenti di hari itu. Ternyata, keesokan harinya, dia dan G datang lagi ke kelasku. Pagi itu, di kelas baru ada aku dan dua teman laki-lakiku. G bertanya pada kami, “S belum dateng?”. Teman-temanku menjawab sekenanya saja. Kemudian, G dengan iseng mengatakan, “eh, A, itu si Fani”. Jujur, aku tidak mengharapkan jawaban apa pun dari mulutnya, tapi ternyata yang keluar dari mulutnya adalah

naon any*ng, goreng

Atau dalam bahasa Indonesianya, “apa, sih, anj*ng, jelek”

Aku benar-benar terkejut dengan jawabannya. Bahkan kedua temanku juga langsung melihat ke arahku dengan wajah yang terkejut. Saat itu juga aku merasa mataku panas sekali, tenggorokanku tercekat. Kata-katanya benar-benar menyakitkan. Aku berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis, tapi akhirnya tangisku pecah juga. Teman-teman sekelasku mulai berdatangan. Tidak mungkin aku menangis di tengah-tengah orang banyak. Akhirnya aku memutuskan pergi ke kamar mandi dan menangis di sana. Aku benar-benar sakit hati dengan perkataan A.

Sejak saat itu, tanpa aku sadari, aku menjadi orang yang sangat tertutup pada lelaki-dalam konteks yang mengarah ke hubungan seperti pendekatan. Terutama jika ada yang mengajakku berkenalan tanpa pernah bertemu sama sekali. Aku takut di saat mereka bertemu denganku, mereka akan mengatakan hal yang sama seperti yang A bilang. Aku juga selalu merasa rendah diri. Di kepalaku seperti sudah tertanam “aku jelek. Gak akan ada yang mau sama aku”.

Makin lama, rasa tidak percaya diri itu makin membesar dan aku juga jadi sulit untuk bersosialisasi. Sudah bukan dalam konteks berkenalan dengan seorang laki-laki yang bermaksud untuk pendekatan saja, tapi pada siapa pun. Bahkan dengan perempuan juga ada rasa tidak percaya diri untuk berkenalan. Sudahlah memang pemalu, ditambah lagi dengan trauma itu. Benar-benar masa yang gelap untukku.

Namun, akhirnya sedikit demi sedikit aku sudah bisa "keluar" dari tembok tinggi, yang aku bangun sendiri, setelah salah satu guru lesku bilang:

“Fan, kamu, tuh, banyak yang suka. Tapi Bapak gak tau kenapa orang-orang itu selalu dijauhin sama kamu.”

Sejak saat itu aku berpikir, apa yang membuatku menjadi seperti itu. Setelah menemukan jawabannya, aku benar-benar benci sekali dengan A. Pada awalnya aku selalu menyalahkan si A atas trauma yang aku miliki. Namun, lama-lama aku tersadar, luka ini memang ada diakibatkan oleh A, tapi untuk sembuh itu pilihanku, bukan? Aku sampai ke titik di mana aku mulai berpikir, aku mau tetap terus-menerus menyalahkan A dan tenggelam dalam trauma itu atau mulai memaafkan dia dan belajar untuk menemukan diriku sendiri lagi. Akhirnya pelan-pelan aku mulai menerima segala yang telah terjadi, menerima bahwa aku memiliki luka itu, dan aku perlahan mulai menyembuhkan luka itu. Prosesnya panjang, memakan waktu bertahun-tahun, dan melelahkan. Sepertinya aku juga tanpa sadar telah melukai beberapa orang dalam proses itu.

Sekarang semuanya terasa lebih baik meskipun rasa insecure itu seringkali muncul lagi di saat saat yang tidak terduga, tapi aku selalu berusaha untuk melawan rasa itu karena aku tidak mau ada di tempat yang begitu-begitu saja.

Dari kejadian ini, aku belajar untuk lebih berhati-hati ketika berbicara dengan orang lain dan tidak sembarangan mengucapkan kata-kata yang tidak baik pada orang lain. Tidak semua orang bisa menerima perkataan kita-yang mungkin kita anggap hanya candaan-dengan lapang dada.

Membaca dan Menulis

Hari ini rasanya tiba-tiba ingin menulis. Mari kita bahas tentang hobi membaca dan menulisku. Sejak kecil, aku selalu dibiasakan untuk memba...