Entah
ada angin apa, tiba-tiba aku ingin sekali menuliskan tentang seseorang yang
pernah singgah di hidupku-walaupun
sangat sebentar. Namun, dia membuat diriku berubah. Berubah menjadi ‘si
pengecut’. Dulu, aku adalah orang yang sangat percaya diri, terutama dalam hal
percintaan ha ha ha. Untuk urusan berkenalan dengan orang baru, sih, aku termasuk orang yang pemalu. Namun,
kalau aku sudah kenal dengan seseorang dan aku menyukainya, aku akan dengan
agresif menunjukkan rasa sukaku pada orang tersebut. Namun, semuanya berubah
saat negara api menyerang (?) ha ha ha, maksudku, semuanya berubah saat aku
mengenal dirinya. Aku ingat sekali hari itu hari Rabu, jam istirahat pertama
setelah kelas matematika. Aku masih kelas 10 pada saat itu. Aku sedang
sendirian di kelas karena teman-temanku semuanya sedang ke kantin, hanya aku
saja yang tetap berada di kelas. Tiba-tiba ada dua orang lelaki datang ke
kelasku-sebut
saja mereka si G dan si A, mereka kakak kelasku. Jelas sekali aku tahu maksud
mereka datang ke kelasku untuk apa: untuk mencari temanku yang digebet oleh G. Setelah berbasa-basi
menanyakan temanku, tiba-tiba si A mendekatiku dan menyodorkan handphone-nya padaku.
“Boleh
minta ID Line kamu?” kata kakak
kelasku itu. Dia memiliki perawakan yang lebih tinggi, lebih berisi dari gebetan temanku, dan memakai kacamata.
Aku tanya,
“buat apa?”
“Biar
lebih deket aja,” jawab A. Aku dengan spontan langsung mendengus saat mendengar
jawabannya. Namun, bodohnya, aku malah memberikan ID Line-ku padanya. Setelah itu mereka keluar dari kelasku. Beberapa
saat kemudian, teman-temanku mulai kembali satu-persatu ke kelas. Dan tiba-tiba
ada segerombolan temanku bilang, “Fan, ada salam dari Kak A. Tadi dia nanyain
rumah kamu di mana”. Aku berusaha untuk menganggap itu sebagai angin lalu saja.
Beberapa
hari setelah itu, muncul chat dari A.
Aku lupa dia basa-basi apa saja, tapi akhirnya dia menawarkan untuk berangkat
ke sekolah bersama. Aku sempat menolaknya beberapa kali, tapi dia tetap memaksa
dan akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Di dalam mobilnya, aku benar-benar tidak
tahu harus bicara apa. Jadi, aku hanya melihat ke arah luar jendela dan
sesekali menjawab pertanyaannya. Kami tidak masuk ke sekolah bersama karena dia
harus memarkirkan mobilnya terlebih dahulu. Aku berusaha untuk tidak ge-er
hanya karena dijemput oleh A. Namun, saat jam istirahat, dia datang dengan
teman-temannya ke selasar kelas IPS. Bahkan mereka mencariku juga. Entah kenapa
di situ aku merasa yakin bahwa dia memang berniat mendekatiku.
Namun,
setelah hari itu, A menghilang. Tidak pernah ada chat darinya lagi. Sampai suatu hari aku bertemu dengan dia di
kantin, tapi dia hanya diam saja. Akhirnya begitu sampai di kelas, aku
berinisiatif untuk mengirimkan chat duluan
pada A, tapi tidak ada jawaban. Padahal aku melihatnya sedang menggunakan handphone saat melewati kelasku. Aku cukup
kecewa karena tidak ada balasan darinya. Jadi, ya, sudah, aku anggap tidak terjadi
apa-apa di antara kami.
Aku pikir
semuanya akan berhenti di hari itu. Ternyata, keesokan harinya, dia dan G
datang lagi ke kelasku. Pagi itu, di kelas baru ada aku dan dua teman
laki-lakiku. G bertanya pada kami, “S belum dateng?”. Teman-temanku menjawab
sekenanya saja. Kemudian, G dengan iseng mengatakan, “eh, A, itu si Fani”. Jujur,
aku tidak mengharapkan jawaban apa pun dari mulutnya, tapi ternyata yang keluar
dari mulutnya adalah
“naon any*ng, goreng”
Atau
dalam bahasa Indonesianya, “apa, sih,
anj*ng, jelek”
Aku benar-benar
terkejut dengan jawabannya. Bahkan kedua temanku juga langsung melihat ke
arahku dengan wajah yang terkejut. Saat itu juga aku merasa mataku panas
sekali, tenggorokanku tercekat. Kata-katanya benar-benar menyakitkan. Aku berusaha
untuk menahan diri agar tidak menangis, tapi akhirnya tangisku pecah juga. Teman-teman
sekelasku mulai berdatangan. Tidak mungkin aku menangis di tengah-tengah orang
banyak. Akhirnya aku memutuskan pergi ke kamar mandi dan menangis di sana. Aku benar-benar
sakit hati dengan perkataan A.
Sejak
saat itu, tanpa aku sadari, aku menjadi orang yang sangat tertutup pada lelaki-dalam konteks yang
mengarah ke hubungan seperti pendekatan. Terutama jika ada yang mengajakku
berkenalan tanpa pernah bertemu sama sekali. Aku takut di saat mereka bertemu
denganku, mereka akan mengatakan hal yang sama seperti yang A bilang. Aku juga
selalu merasa rendah diri. Di kepalaku seperti sudah tertanam “aku jelek. Gak akan
ada yang mau sama aku”.
Makin
lama, rasa tidak percaya diri itu makin membesar dan aku juga jadi sulit untuk
bersosialisasi. Sudah bukan dalam konteks berkenalan dengan seorang laki-laki
yang bermaksud untuk pendekatan saja, tapi pada siapa pun. Bahkan dengan
perempuan juga ada rasa tidak percaya diri untuk berkenalan. Sudahlah memang
pemalu, ditambah lagi dengan trauma itu. Benar-benar masa yang gelap untukku.
Namun,
akhirnya sedikit demi sedikit aku sudah bisa "keluar" dari tembok tinggi, yang
aku bangun sendiri, setelah salah satu guru lesku bilang:
“Fan,
kamu, tuh, banyak yang suka. Tapi Bapak
gak tau kenapa orang-orang itu selalu dijauhin sama kamu.”
Sejak
saat itu aku berpikir, apa yang membuatku menjadi seperti itu. Setelah
menemukan jawabannya, aku benar-benar benci sekali dengan A. Pada awalnya aku
selalu menyalahkan si A atas trauma yang aku miliki. Namun, lama-lama aku
tersadar, luka ini memang ada diakibatkan oleh A, tapi untuk sembuh itu
pilihanku, bukan? Aku sampai ke titik di mana aku mulai berpikir, aku mau tetap
terus-menerus menyalahkan A dan tenggelam dalam trauma itu atau mulai memaafkan
dia dan belajar untuk menemukan diriku sendiri lagi. Akhirnya pelan-pelan aku
mulai menerima segala yang telah terjadi, menerima bahwa aku memiliki luka itu,
dan aku perlahan mulai menyembuhkan luka itu. Prosesnya panjang, memakan waktu
bertahun-tahun, dan melelahkan. Sepertinya aku juga tanpa sadar telah melukai
beberapa orang dalam proses itu.
Sekarang
semuanya terasa lebih baik meskipun rasa insecure
itu seringkali muncul lagi di saat saat yang tidak terduga, tapi aku selalu
berusaha untuk melawan rasa itu karena aku tidak mau ada di tempat yang
begitu-begitu saja.
Dari
kejadian ini, aku belajar untuk lebih berhati-hati ketika berbicara dengan
orang lain dan tidak sembarangan mengucapkan kata-kata yang tidak baik pada
orang lain. Tidak semua orang bisa menerima perkataan kita-yang mungkin kita anggap
hanya candaan-dengan
lapang dada.