Thursday, June 2, 2022

Diabaikan

Aku sering sekali merasa diabaikan, dikucilkan, tidak diapresiasi sejak kecil. Mulai dari keluarga besar Papa—yang sejujurnya aku juga tidak tahu apa alasannya—yang kadang menunjukkan sikap seperti tidak peduli denganku dan hanya memedulikan yang lain, ditinggal pergi, mereka main ke suatu tempat, tapi aku tidak diajak. Apa mungkin karena aku adalah anak yang pemalu, pendiam, dan cengeng dulu makanya mereka tidak suka padaku? Entahlah. Hanya mereka yang tahu alasannya. Bahkan ini masih aku rasakan kira-kira sampai aku SMP atau SMA. Kemudian aku juga pernah dijauhi oleh teman-teman TK. Ada momen-momen di mana aku tiba-tiba diusir dari tempat duduk yang sudah aku pilih karena mereka ingin duduk bersebelahan, ada pula momen aku dijauhi karena hal-hal yang tidak aku lakukan. Aku ingat sekali ini perkara krayon baru temanku. Dia bilang, ‘boleh pinjem, tapi gak boleh patah, ya’. Semua teman-teman yang berada di satu meja panjang itu meminjam krayonnya. Ketika giliranku, baru ketahuan ada satu krayon yang patah dan aku bilang bahwa krayon itu sudah patah sejak pertama aku pegang, bukan patah olehku. Awalnya temanku mengerti dan tidak mempermasalahkan. Namun, tidak lama dari situ tiba-tiba mereka semua berbisik-bisik melirik padaku dan mulai menjauhiku. Mereka menyalahkanku terus menerus padahal sudah aku jelaskan kejadiannya seperti apa. Sepertinya ini hanya salah satu kejadian yang pernah aku alami. Aku tidak ingat yang lainnya, tapi aku seperti merasakan masih ada luka lainnya yang tertinggal dari masa TK-ku. Saat duduk di bangku SD pun aku sering merasakan tiba-tiba dimusuhi, diam-diam ditinggalkan tidak diajak main, dibicarakan tentang hal-hal yang tidak aku lakukan—bahkan untuk hal ini pernah ada yang membicarakanku atas sesuatu yang tidak aku lakukan dan mereka membicarakanku saat berada di meja yang sama, hanya saja mereka berkomunikasi lewat surat. Aku diabaikan, tidak diajak berbicara, mereka pergi ke mana-mana hanya berdua padahal aku ada benar-benar di tengah-tengah mereka posisinya. Banyak sekali kenangan-kenangan aku ditinggalkan, tidak diajak main, dll. Sewaktu SMP sepertinya tidak banyak momen-momen seperti itu. Aku hanya pernah merasakan tiba-tiba disindir karena setelah sekitar seminggu masuk sekolah, aku tiba-tiba menggunakan kacamata. Jujur konyol sekali kejadian itu. Aku awalnya tidak sadar kalau itu menyindirku sebelum temanku yang memberitahu karena aku memakai kacamata di hari itu bukan untuk bergaya, tapi aku tidak bisa melihat tulisan di papan tulis dengan jelas. Entahlah, di awal masuk SMP sepertinya temanku yang satu itu agak kurang suka denganku karena sering menyindir ini itu, padahal kerjaanku hanya diam dan menangis di pojokan karena aku masih malu dan takut, belum bisa beradaptasi dengan sekolah dan teman-teman baru. Kemudian saat SMA, aku pernah berteman dekat dengan salah satu teman laki-laki—kebetulan aku naksir juga. Kami sangat akrab. Namun, entah mengapa dalam semalam tiba-tiba dia berubah. Ketika aku menyapanya, aku seperti transparan, tidak nampak di depannya. Teman-teman yang lain disapa, tapi aku tidak disapa sama sekali. Setelah bertahun-tahun baru aku tahu alasannya mengapa dia tiba-tiba seperti itu. Ternyata ada yang cemburu akan kedekatanku dengan dia. Itu ketika kelas 10. Ketika kelas 11, aku pernah merasa tidak diapresiasi atas sesuatu yang telah aku “ciptakan”. Aku tidak sengaja mendengar malah teman sekelompokku yang lain yang dipuji, padahal aku yang membuatnya. Pada saat itu aku merasa tidak adil karena merasa harusnya aku yang mendapat apresiasi. Setelah itu ada kejadian aku diabaikan dan dijauhi oleh teman-teman satu circle-ku tanpa penjelasan apa-apa. Ditanya ada apa, aku punya salah apa juga mereka berkelit bilang bahwa tidak ada apa-apa. Namun, tiba-tiba berapa bulan kemudian aku diforum di satu ruangan bersama beberapa orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang dibicarakan, yang seharusnya tidak ada di situ. Mereka tidak menyukai beberapa sikapku, dan aku juga mengakui dan sadar memang ada beberapa sikapku yang tanpa kusadari mengganggu untuk orang lain—beberapa yang lain aku punya alasan sendiri dan sepertinya mereka kurang bisa memahami karena tidak merasakan ada di posisiku. Setelah itu pun aku mulai memperbaiki diri, memperbaiki beberapa sikapku, berusaha menjadi lebih baik agar tidak membuat orang lain tidak nyaman. Namun, cara yang mereka lakukan masih membekas sampai sekarang—mulai dari detik mereka menjauhi aku, mengabaikan aku, dan membuat “forum” di tengah-tengah beberapa orang yang seharusnya tidak perlu ikut ada di situ dengan embel-embel mengajakku main. Aku ingat sekali betapa senangnya aku di hari itu karena akhirnya aku diajak main bersama mereka lagi setelah sekian lama aku melihat mereka sering main bersama pergi ke sana ke mari tanpa mengajakku (jelas, karena mereka mau membicarakanku). Haha, bahkan sampai ketika pulang sekolah pun aku sering ditinggal sendiri tanpa pamit oleh teman yang sering pulang bersama (rumah kami searah). Aku kegirangan mengira mereka sudah mau bermain denganku lagi, ternyata mereka malah mempermalukanku di “forum” itu. Mungkin niat mereka tidak untuk mempermalukanku, hanya untuk menyampaikan dan menyelesaikan ketidaknyamanan mereka terhadapku. Namun, dengan adanya orang yang tidak berkepentingan di sana jatuhnya jadi mempermalukan aku.

(Aku akui cerita kelas 11 ku ini aku tulis dengan emosi yang meluap yang rasanya masih sama seperti 6 tahun yang lalu. Entah tulisan ini akan terlihat seperti orang yang dendam atau bagaimana, yang jelas aku hanya butuh menumpahkannya dalam tulisan karena walaupun kami sekarang sudah berteman baik kembali semua, tapi setiap aku ingat kejadian itu rasanya masih sangat sakit dan sangat membekas.)

Lalu, entah kenapa setiap aku berbicara/bercerita pada teman-teman rasanya seperti tidak ada yang mendengarkan. Ada yang setelah aku selesai berbicara dia bertanya lagi dan akhirnya aku ceritakan ulang. Kadang mereka sering ter-distract hal lain, atau malah ada yang di saat aku berbicara, tiba-tiba teman yang lain berbicara juga membicarakan topik lain.

Aku rasa itu semua yang membentuk aku yang ada di hari ini, yang ketakutan ketika orang orang mulai mengabaikan aku, perhatiannya mulai berkurang padaku karena hal lain, ketakutan mereka akan meninggalkan aku tiba-tiba tanpa bilang apa-apa.

Mungkin orang-orang tidak sadar karena aku hanya diam saja. Di saat aku berusaha berbicara tapi dipotong orang lain terus-menerus, aku hanya bisa diam, mengalah tidak jadi berbicara karena omongan teman yang lain lebih didengar. Waktu aku coba berbicara, tapi tidak terlalu dipedulikan juga akhirnya aku tidak menyelesakan kalimatku dan diam. Sewaktu ada yang mulai menjauh dari aku juga aku hanya diam memperhatikan dan berpikir kenapa orang itu tiba-tiba berubah.

Sepertinya aku ini hidup berpuluh tahun dengan luka-luka yang tidak kusadari belum sembuh sejak aku kecil ya?

Sunday, May 22, 2022

Gelas yang Kosong

Aku ngeliat semua kesedihan dan kesepian yang aku rasain mungkin kurang lebih setahun ke belakang dan mulai kepikiran.. aku kangen sama aku yang ada di 2019. Aku yang merasa sangat bersyukur dan merasa ‘penuh’ dengan semua yang aku punya. Aku yang bisa melihat segala sesuatu dari sisi baiknya. Aku yang tidak menggantungkan kebahagiaan aku terhadap orang lain. Aku yang bisa menularkan bahagia itu pada orang lain. I was full of gratitude back then.

Beberapa bulan ke belakang aku bertanya-tanya waktu ngeliat orang terdekat aku lagi di posisi yang mungkin kurang baik juga, aku mikir “kok kayanya dulu aku bisa menghibur dia—dan mereka semua yang pernah aku support—ya? Padahal ya aku ga punya apa-apa juga untuk ditawarkan, tapi rasanya aku bisa menghibur orang lain cukup dengan keberadaan aku di samping mereka. Kok sekarang beda ya? Kaya gak bisa aja gitu..”. Sampai kemarin, aku belum nemuin jawabannya.

Pagi ini aku sadar, gimana caranya aku bisa membuat gelas orang lain ‘penuh’ ketika gelasku sendiri ‘kosong’. I realized that I should be happy first, I should be fulfilled first before make the others happy and fulfill. Mungkin kalau diibaratkan sama lilin, kalau aku mau bantu lilin lain punya ‘cahaya’, bantu lilin lain menyala, otomatis aku harus punya si ‘cahaya’ itu dulu dong. Aku harus nyalain api aku dulu, baru aku bisa berbagi ke lilin lain supaya mereka nyala juga. Aku lupa dan gak sadar kalau aku sendiri udah ‘kering’ dan ‘kehabisan air’, aku lupa kalau ‘api’ aku sendiri udah mati. Tapi fokus aku malah ke air dan api orang lain yang habis dan mati. Ternyata selama ini aku hanya musingin ‘kenapa aku gak bisa bikin orang seneng kaya dulu lagi’ padahal yang seharusnya aku pikirin adalah gimana caranya aku bisa bikin diri aku sendiri seneng, bahagia, dan bersyukur lagi dengan semua yang aku miliki, bukan apa yang gak aku milikin dan gak bisa aku lakuin.

Mulai sekarang kayanya aku akan mulai berusaha buat bikin aku sendiri bahagia lagi terlebih dahulu. I will work on my own happiness first. I will be happy first before I make the others happy. I will fill my ‘cup’ first before I share my ‘water’ to other person’s ‘cup’. Aku si gak sabaran ini pasti bakal ngerasa “kenapa ya lama banget sampe ke titik aku bahagia dan ngerasa ‘penuh’ lagi kaya dulu?”, tapi aku bakal tetep berusaha buat sampe ada di titik itu. Walaupun aku tau, proses menemukan kebahagiaan di diri sendiri itu panjang dan bakal banyak naik turunnya. Aku mau bahagia lagi buat aku sendiri, orang-orang yang aku sayang, dan orang-orang yang ada di sekitar aku.

Saturday, February 19, 2022

Beranjak Dewasa

 Kemarin perasaanku rasanya mellow sekali.

Aku akan bercerita tentang salah satu teman dekatku, teman sedari kecil. Kami kenal semenjak aku pindah ke suatu kompleks di daerah Buah Batu saat aku masih kelas tiga SD. Kami sangat dekat. Mungkin sejak kuliah kami jarang main bersama karena rumah kami tidak lagi di kompleks tersebut dan kami memiliki kesibukan masing-masing. Namun, kami masih sering bertemu karena kegiatan karang taruna di kompleks tersebut. Ya, kami sudah pindah ke daerah lain, tetapi kami masih bergabung dengan karang taruna di sana. Kami juga masih sering saling kontak untuk mengobrol. Sejak akhir tahun kemarin Dia mulai mempersiapkan pernikahannya dengan pacarnya. Biasanya aku hanya ikut berbahagia karena Dia sudah akan menuju ke jenjang yang lebih serius--sesekali ada perasaan ingin menikah juga tiap lihat Dia update tentang persiapan pernikahannya ha ha ha ha. Namun, entah kenapa, kemarin rasanya mellow sekali saat ingat dia akan menikah. Padahal menikahnya masih sekitar sembilan bulan lagi. Dan biasanya juga tidak sebegitunya, kok. Perasaan sedih ini muncul sepertinya karena aku tiba-tiba teringat ketika kami masih kecil, bersepeda bersama, bermain masak-masakan, dan lain-lainnya. Aku teringat masa-masa di mana kami masih memikirkan tentang main dan jajan saja tiap bertemu. Bertengkar karena hal-hal kecil. Tarawih bersama di masjid (sembari dimarahi ibu-ibu kompleks karena kami sangat berisik dan kerjaannya ngemil terus sambil solat). Semua momen-momen itu terngiang-ngiang di kepalaku kemarin. Rasanya tidak nyata, kenapa tiba-tiba Dia sudah dilamar orang? Bukannya kemarin kami masih bermain sepeda keliling kompleks bersama? Ada perasaan tidak terima (?) karena kita sudah sebesar ini dan ternyata sudah di tahap harus siap dengan hal-hal yang dewasa (bekerja, menikah, dll). Sedih karena ternyata semakin hari kami semakin besar, semakin dewasa, semakin bertambah umur. Benar-benar tidak nyata rasanya.

Sepertinya kalau teman-teman dekatku ada yang menikah juga, aku akan merasakan perasaan ini lagi.

Membaca dan Menulis

Hari ini rasanya tiba-tiba ingin menulis. Mari kita bahas tentang hobi membaca dan menulisku. Sejak kecil, aku selalu dibiasakan untuk memba...